Sudah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat dan media massa,
kenaikan harga BBM sudah tidak bisa dielakkan lagi. Satu sisi dengan
pertimbangan subsidi yang membengkak perlu dikendalikan agar tidak
menguras APBN, sedangkan disisi lain kalau terjadi kenaikan pasti akan
berdampak pada kenaikan kebutuhan hidup serta yang akan paling merasakan
dampak tersebut adalah rakyat klas bawah.
Kebijakan eksplorasi
dan eksploitasi energi, sampai saat ini masih menitikberatkan pada
energi fosil yang pada saatnya akan habis. Kebijakan energi harusnya
diarahkan pada konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi energi
pada sisi pemanfaatannya, demikian halnya dengan diversifikasi energi
dengan tujuan meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran
energi nasional. Demikian dikatakan Ketua Program Studi Teknik Energi
Terbarukan Jurusan Teknik Politeknik Negeri Jember (Polije) Muh.
Nuruddin, ST, M.Si dalam seminat energi di Gedung Serbaguna Soetrisno
Widjaja Sabtu kemarin (1/11/2014).
“Pemanfaatan bioenergi
merupakan salah satu solusi mengatasi masalah ketergantungan terhadap
sumber energi fosil”, ungkap Nuruddin. Potensi bioenergi di Indonesia
sangat besar, terutama yang berasal dari sektor pertanian baik dari
sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan dan
peternakan.
Menurut Ketua Laboratorium Teknik Energi Terbarukan
Yuana Susmiati. S.TP, M.Si, salah satu sumber energi yang sangat
potensial dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai energi alternatif adalah
Bioetanol. Sumber bahan baku pembuatan Bioetanol dapat berasal dari
bahan baku yang mengandung glukosa atau gula, pati dan bahan
belignoselulosa. “Sumber bahan baku Bioetanol dari bahan bergula adalah
Tebu, Aren dan Sorgum Manis, yang dari bahan baku berpati berasal dari
Sagu, Ubi Kayu, Ubi Jalar dan Jagung, sedangkan sumber bahan baku
berlignoselulosa yaitu Jerami, Bagas dan Onggok”, cetus Yuana Susmiati
dalam ketika menjadi narasumber seminar energi Sabtu.
Bioetanol
merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena memiliki angka
oktan yang lebih tinggi dibanding premium. “Angka oktan Bioetanol
sebesar 115, sedangkan premiun 88 dan pertamax sebesar 98”, ungkap Yuana
Susmiati dengan mantap. Bioetanol dapat dipergunakan sebagai aditif
untuk menggantikan TEL atau MTBE yaitu yang berfungsi sebagai aditif
peningkat nilai oktan yang mengandung timbal dan karsinogenik.
“Penggunaan Bioetanol dapat mengurangi efek gas rumah kaca karena siklus
emisi gas rumah kaca lebih rendah 14-19% dibandingkan dengan premium
Sebagai
langkah edukasi kepada peserta seminar dengan harapan dapat disebarkan
pemahaman dan pengetahuannya kepada masyarakat sekitarnya, maka
dilakukan workshop pembuatan bioetanol yang berasal dari Singkong. Bahan
yang harus disiapkan adalah Singkong 5 kg, Urea, NPK, ekstrak kecambah
kedelai, air dan ragi. “Langkah pertama Singkong diparut untuk
memperkecil ukuran dan mempersingkat reaksi, selanjutnya dijemur selama 2
hari sampai kering”, papar Yuana Susmiati. Selanjutnya parutan Singkong
yang telah kering di blender dan dipanaskan dalam suhu 115oC dalam waktu 2 jam dan selanjutnya didinginkan untuk proses gelatinasi.
Tahap
berikutnya dicampurkan ekstrak kecambah kedelai untuk memecah zat
tepung menjadi gula sederhana atau glukosa dan proses berikutnya larutan
tersebut dipanaskan selama 2 jam dalam suhu 38oC lalau
didiamkan selama 24 jam untuk proses fermentasi selama 5 hari. “Untuk
memperoleh bioetanol dilakukan melalui proses destilasi”, imbuh Yuasa
Susmiati. Destilasi merupakan proses pemisahan etanol dari media
fermentasi berdasarkan perbedaan titik didih. Sedangkan suhu destilasi
yang optimal sebesar 78oC. Proses destilasi sederhana akan
menghasilkan etanol dengan kemurnian 70%, sedangkan untuk memperoleh
kadar etanol dengan kemurnian 95% perlu dilakukan destilasi bertingkat
atau destilasi rektifikasi.