Jumat, 07 November 2014

SEMINAR LOKAL "BIOETANOL ENERGI ALTERNATIF YANG RAMAH LINGKUNGAN"

Sudah menjadi pembicaraan hangat di masyarakat dan media massa, kenaikan harga BBM sudah tidak bisa dielakkan lagi. Satu sisi dengan pertimbangan subsidi yang membengkak perlu dikendalikan agar tidak menguras APBN, sedangkan disisi lain kalau terjadi kenaikan pasti akan berdampak pada kenaikan kebutuhan hidup serta yang akan paling merasakan dampak tersebut adalah rakyat klas bawah.
Kebijakan eksplorasi dan eksploitasi energi, sampai saat ini masih menitikberatkan pada energi fosil yang pada saatnya akan habis. Kebijakan energi harusnya diarahkan pada konservasi energi untuk meningkatkan efisiensi energi pada sisi pemanfaatannya, demikian halnya dengan diversifikasi energi dengan tujuan meningkatkan pangsa energi baru terbarukan dalam bauran energi nasional. Demikian dikatakan Ketua Program Studi Teknik Energi Terbarukan Jurusan Teknik Politeknik Negeri Jember (Polije) Muh. Nuruddin, ST, M.Si dalam seminat energi di Gedung Serbaguna Soetrisno Widjaja Sabtu kemarin (1/11/2014).
“Pemanfaatan bioenergi merupakan salah satu solusi mengatasi masalah ketergantungan terhadap sumber energi fosil”, ungkap Nuruddin. Potensi bioenergi di Indonesia sangat besar, terutama yang berasal dari sektor pertanian baik dari sektor tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, kehutanan dan peternakan.
Menurut Ketua Laboratorium Teknik Energi Terbarukan Yuana Susmiati. S.TP, M.Si, salah satu sumber energi yang sangat potensial dikembangkan dan dimanfaatkan sebagai energi alternatif adalah Bioetanol. Sumber bahan baku pembuatan Bioetanol dapat berasal dari bahan baku yang mengandung glukosa atau gula, pati dan bahan belignoselulosa. “Sumber bahan baku Bioetanol dari bahan bergula adalah Tebu, Aren dan Sorgum Manis, yang dari bahan baku berpati berasal dari Sagu, Ubi Kayu, Ubi Jalar dan Jagung, sedangkan sumber bahan baku berlignoselulosa yaitu Jerami, Bagas dan Onggok”, cetus Yuana Susmiati dalam ketika menjadi narasumber seminar energi Sabtu.
Bioetanol merupakan sumber energi yang ramah lingkungan karena memiliki angka oktan yang lebih tinggi dibanding premium. “Angka oktan Bioetanol sebesar 115, sedangkan premiun 88 dan pertamax sebesar 98”, ungkap Yuana Susmiati dengan mantap. Bioetanol dapat dipergunakan sebagai aditif untuk menggantikan TEL atau MTBE yaitu yang berfungsi sebagai aditif peningkat nilai oktan yang mengandung timbal dan karsinogenik. “Penggunaan Bioetanol dapat mengurangi efek gas rumah kaca karena siklus emisi gas rumah kaca lebih rendah 14-19% dibandingkan dengan premium
Sebagai langkah edukasi kepada peserta seminar dengan harapan dapat disebarkan pemahaman dan pengetahuannya kepada masyarakat sekitarnya, maka dilakukan workshop pembuatan bioetanol yang berasal dari Singkong. Bahan yang harus disiapkan adalah Singkong 5 kg, Urea, NPK, ekstrak kecambah kedelai, air dan ragi. “Langkah pertama Singkong diparut untuk memperkecil ukuran dan mempersingkat reaksi, selanjutnya dijemur selama 2 hari sampai kering”, papar Yuana Susmiati. Selanjutnya parutan Singkong yang telah kering di blender dan dipanaskan dalam suhu 115oC dalam waktu 2 jam dan selanjutnya didinginkan untuk proses gelatinasi.
Tahap berikutnya dicampurkan ekstrak kecambah kedelai untuk memecah zat tepung menjadi gula sederhana atau glukosa dan proses berikutnya larutan tersebut dipanaskan selama 2 jam dalam suhu 38oC lalau didiamkan selama 24 jam untuk proses fermentasi selama 5 hari. “Untuk memperoleh bioetanol dilakukan melalui proses destilasi”, imbuh Yuasa Susmiati. Destilasi merupakan proses pemisahan etanol dari media fermentasi berdasarkan perbedaan titik didih. Sedangkan suhu destilasi yang optimal sebesar 78oC. Proses destilasi sederhana akan menghasilkan etanol dengan kemurnian 70%, sedangkan untuk memperoleh kadar etanol dengan kemurnian 95% perlu dilakukan destilasi bertingkat atau destilasi rektifikasi.

0 komentar:

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More